Minggu, 29 Maret 2015

2014 (2015)

Film berbau politik memang bukan makanan baru buat seorang Hanung Bramantyo, lewat biopik Soekarno sedikit banyak Hanung sudah pernah menyentuh wilayah itu meskipun harus diakui, Soekarno lebih terasa kental aroma drama, romansa dan sejarahnya ketimbang benar-benar megulik politik. Baru pada 2014 Hanung bersama koleganya, Rahabi Mandra benar-benar mengusung politik sebagai jargonnya.  Dengan mendasarkan pada hingar bingar situasi politik tahun 2014, Hanung menjadikan kehebohan momen pemilihan umum presiden sebagai inspirasi untuk menghadirkan 2014, thriller politik yang sejatinya dirilis tahun lalu sesuai dengan momentum dan judulnya.

Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy) adalah salah satu dari tiga kandidat calon presiden yang paling diunggulkan untuk menduduki posisi RI 1. Tentu saja dengan popularitas Bagas Notolegowo yang konon adalah orang bersih dan disukai masyarakat berdasarkan poling yang terus menanjak membuat capres lainnya, khususnya Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) resah. Maka yang terjadi kemudian adalah sebuah jebakan maut sudah dipersiapkan untuk menghancurkan Bagas yang pada akhirnya harus membuat putranya, Ricky Bagaskoro (Rizky Nazar) bersama bantuan pengacara idealis Khrisna Dorojatun (Donny Damara) dan putri semata wayangnya, Laras (Maudy Ayunda) berjuang menolong Bagas dari jeratan para politikus korup yang menguasai pemerintahan termasuk kepolisian,
Perfilman Indonesia tidak banyak atau malah bisa dibilang nyaris tidak pernah memproduksi sesuatu yang bernama “thriller” apalagi diikuti dengan kata “politik” di belakangnya, sebuah sub-genre serius yang biasanya banyak menghiasi etalase film rilisan Hollywood sana. Tentu saja butuh keberanian besar untuk menghadirkan sub-genre ‘langka’ ini di perfilman lokal meningat selera pasar lokal yang mayoritas cenderung malas jika dicekoki film-film yang cenderung bermuatan ‘berat’ macam ini. Tetapi mengingat 2014 adalah buatan Hanung yang punya track record mengkilat sebagai sineas paling nyinyir dan juga kontroversial yang dimiliki Indonesisa, 2014 bisa saja menjadi sesuatu sajian yang beda dan mungkin tendensius.

Ya, saya memuji ambisi dan keberanian Hanung dan Rahabi Mandra, tidak hanya karena mereka nekat membuat jenis film yang jarang diproduksi di perfilman lokal dengan serius, namun juga keberanian ketika keduanya pintar memanfaatkan gejolak politik tanah air, khususnya pada pemilu presiden tahun lalu yang juga menjadi titik balik terbesar buat peta perpolitikan tanah air terlebih ketika politik sudah menyentuh segenap elemen dan lapisan masyarakat termasuk pengunaan sosial media internet yang juga disinggung di film yang sempat tayang di film di Osaka tahun 2013 lalu belum saya menyebut sindiran sana-sini tentang instiusi Polri dengan segala permainan good cop-bad cop-nya yang masih sangat relevan sampai saat ini mengingat masih hangatnya kasus cicak vs. buaya yang menyeret polisi dan KPK. Masalahnya pujian saya hanya sampai di sini karena dalam praktiknya, 2014 hanya menang di konsep besarnya tanpa diiringi dengan presentasinya.

Jangan salah, 2014 sebenarnya dibuka dengan cukup baik. Ada fenomena para capres yang tengah berlaga di panggung pemilu orang nomor satu Indonesia dengan segala jargon-jargon kampenya. sedikit banyak sudah membawa kita merasakan atmosfer politik kental tahun lalu itu. Ray Sahetapy mewakili Bagas Notolegowo pihak ‘putih’ yang dijebak oleh lawannya yang sejak awal sudah langsung terasa aura jahatnya ketika pihak casting mengahadirkan muka-muka culas macam Rudy Salam sebagai salah satu villian-nya, belum saya menyebut kemunculan Arief Rivan yang semakin menguatkan mana pihak jahat mana pihak baik. Jujur, 2014 bisa saja menjadi sajian berkelas sesuai dengan konsepnya. Ia tidak hanya punya potensi besar menjadi thriller politik dengan segala satir dan olok-olok khas Hanung yang gemar menyentil fenomena sosial di masyarakat, namun juga thriller investigasi, court room drama dan thriller aksi. Ya, ada banyak elemen menarik yang seharusnya bisa dibuat lebih maksimal dan yang terpenting, lebih pintar. Sayang semua itu seperi menguap begitu saja ketika keberanian Hanung dan Rahabi seperti hanya menyentuh permukaannya saja tanpa ada upaya untuk lebih mendalamkan narasinya. Lihat saja bagaimana keduanya terlalu banyak membuat kesalahan di sana sini yang menantang logika, menggampangkan banyak hal yang seharunya seperi karakter Iptu Astri (Atiqah Hasiholan) bolak-balik katakan bahwa ini adalah masalah sangat serius.

Meskipun dirundung dengan banyak hal-hal janggal dan ketidak konsistentan di sana-sini, termasuk eksploitasi aksinya yang terasa berlebihan untuk ukuran film berbau poltik (pertarungan dengan koreografi ala The Raid KW2 dan kejar-kejaran mobil yang mengingatkan saya pada film aksi kelas B). setidaknya saya masih bisa menikmati paruh awalnya yang seperti belepotan lumpur. Namun saya tidak bisa memafaakan apa yang terjadi di 20 menit akhir. Ya, itu seperti sebuah lawakan besar dan konyol, sekonyol ketika 2014 masih menggunakan karakter banci untuk mengeksploitasi beberapa momen komedinya. Lihat saja, tokoh Ricky yang disepanjang film bak jagoan kesiangan punya jalan keluar ‘jenius’ untuk menyelamatkan sang ayah dengan memafaatkan curhatan di media sosial hanya sekedar agar bisa tampil di televisi. Elemen sebagus ini semestinya bisa dimanfaatkan Hanung dan Rahabi menjadi sebuah konklusi akhir yang lebih pintar alih-alih bodoh dan serba memaksakan macam ini. Belum lagi kekacuan di penghujung cerita yang melibatkan baku hantam pasangan suami istri, Atiqah Hasiholan dan tokoh Satria yang diperankan Rio Dewanto di atap gedung, menjadikan 2014 seperti terlalu memusingkan bagaimana membuat petarungan bela diri sebagus mungkin ditambah dengan twist yang sok menipu ketimbang memperhatikan sinergi antara premis dan presentasinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More