Film berbau politik memang bukan makanan baru buat seorang Hanung Bramantyo, lewat biopik Soekarno sedikit banyak Hanung sudah pernah menyentuh wilayah itu meskipun harus diakui, Soekarno lebih terasa kental aroma drama, romansa dan sejarahnya ketimbang benar-benar megulik politik. Baru pada 2014
Hanung bersama koleganya, Rahabi Mandra benar-benar mengusung politik
sebagai jargonnya. Dengan mendasarkan pada hingar bingar situasi
politik tahun 2014, Hanung menjadikan kehebohan momen pemilihan
umum presiden sebagai inspirasi untuk menghadirkan 2014, thriller politik yang sejatinya dirilis tahun lalu sesuai dengan momentum dan judulnya.
Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy) adalah
salah satu dari tiga kandidat calon presiden yang paling diunggulkan
untuk menduduki posisi RI 1. Tentu saja dengan popularitas Bagas
Notolegowo yang konon adalah orang bersih dan disukai masyarakat
berdasarkan poling yang terus menanjak membuat capres lainnya,
khususnya Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) resah. Maka yang terjadi
kemudian adalah sebuah jebakan maut sudah dipersiapkan untuk
menghancurkan Bagas yang pada akhirnya harus membuat putranya, Ricky
Bagaskoro (Rizky Nazar) bersama bantuan pengacara idealis Khrisna
Dorojatun (Donny Damara) dan putri semata wayangnya, Laras (Maudy
Ayunda) berjuang menolong Bagas dari jeratan para politikus korup yang
menguasai pemerintahan termasuk kepolisian,
Perfilman Indonesia tidak banyak atau
malah bisa dibilang nyaris tidak pernah memproduksi sesuatu yang bernama
“thriller” apalagi diikuti dengan kata “politik” di belakangnya, sebuah
sub-genre serius yang biasanya banyak menghiasi etalase film rilisan
Hollywood sana. Tentu saja butuh keberanian besar untuk menghadirkan
sub-genre ‘langka’ ini di perfilman lokal meningat selera pasar lokal
yang mayoritas cenderung malas jika dicekoki film-film yang cenderung
bermuatan ‘berat’ macam ini. Tetapi mengingat 2014 adalah buatan Hanung
yang punya track record mengkilat sebagai sineas paling nyinyir dan juga kontroversial yang dimiliki Indonesisa, 2014 bisa saja menjadi sesuatu sajian yang beda dan mungkin tendensius.
Ya, saya memuji ambisi dan keberanian
Hanung dan Rahabi Mandra, tidak hanya karena mereka nekat membuat jenis
film yang jarang diproduksi di perfilman lokal dengan serius, namun
juga keberanian ketika keduanya pintar memanfaatkan gejolak politik
tanah air, khususnya pada pemilu presiden tahun lalu yang juga menjadi
titik balik terbesar buat peta perpolitikan tanah air terlebih ketika
politik sudah menyentuh segenap elemen dan lapisan masyarakat termasuk
pengunaan sosial media internet yang juga disinggung di film yang sempat
tayang di film di Osaka tahun 2013 lalu belum saya menyebut sindiran
sana-sini tentang instiusi Polri dengan segala permainan good cop-bad cop-nya
yang masih sangat relevan sampai saat ini mengingat masih hangatnya
kasus cicak vs. buaya yang menyeret polisi dan KPK. Masalahnya pujian
saya hanya sampai di sini karena dalam praktiknya, 2014 hanya menang di konsep besarnya tanpa diiringi dengan presentasinya.
Jangan salah, 2014 sebenarnya
dibuka dengan cukup baik. Ada fenomena para capres yang tengah berlaga
di panggung pemilu orang nomor satu Indonesia dengan segala
jargon-jargon kampenya. sedikit banyak sudah membawa kita merasakan
atmosfer politik kental tahun lalu itu. Ray Sahetapy mewakili Bagas
Notolegowo pihak ‘putih’ yang dijebak oleh lawannya yang sejak awal
sudah langsung terasa aura jahatnya ketika pihak casting mengahadirkan muka-muka culas macam Rudy Salam sebagai salah satu villian-nya, belum saya menyebut kemunculan Arief Rivan yang semakin menguatkan mana pihak jahat mana pihak baik. Jujur, 2014
bisa saja menjadi sajian berkelas sesuai dengan konsepnya. Ia tidak
hanya punya potensi besar menjadi thriller politik dengan segala satir
dan olok-olok khas Hanung yang gemar menyentil fenomena sosial di
masyarakat, namun juga thriller investigasi, court room drama
dan thriller aksi. Ya, ada banyak elemen menarik yang seharusnya bisa
dibuat lebih maksimal dan yang terpenting, lebih pintar. Sayang semua
itu seperi menguap begitu saja ketika keberanian Hanung dan Rahabi
seperti hanya menyentuh permukaannya saja tanpa ada upaya untuk lebih
mendalamkan narasinya. Lihat saja bagaimana keduanya terlalu banyak
membuat kesalahan di sana sini yang menantang logika, menggampangkan
banyak hal yang seharunya seperi karakter Iptu Astri (Atiqah
Hasiholan) bolak-balik katakan bahwa ini adalah masalah sangat serius.
Meskipun dirundung dengan banyak hal-hal
janggal dan ketidak konsistentan di sana-sini, termasuk eksploitasi
aksinya yang terasa berlebihan untuk ukuran film berbau poltik
(pertarungan dengan koreografi ala The Raid KW2 dan
kejar-kejaran mobil yang mengingatkan saya pada film aksi kelas B).
setidaknya saya masih bisa menikmati paruh awalnya yang seperti
belepotan lumpur. Namun saya tidak bisa memafaakan apa yang terjadi di
20 menit akhir. Ya, itu seperti sebuah lawakan besar dan konyol,
sekonyol ketika 2014 masih menggunakan karakter banci untuk
mengeksploitasi beberapa momen komedinya. Lihat saja, tokoh Ricky yang
disepanjang film bak jagoan kesiangan punya jalan keluar ‘jenius’ untuk
menyelamatkan sang ayah dengan memafaatkan curhatan di media sosial
hanya sekedar agar bisa tampil di televisi. Elemen sebagus ini
semestinya bisa dimanfaatkan Hanung dan Rahabi menjadi sebuah konklusi
akhir yang lebih pintar alih-alih bodoh dan serba memaksakan macam ini.
Belum lagi kekacuan di penghujung cerita yang melibatkan baku hantam
pasangan suami istri, Atiqah Hasiholan dan tokoh Satria yang
diperankan Rio Dewanto di atap gedung, menjadikan 2014 seperti
terlalu memusingkan bagaimana membuat petarungan bela diri sebagus
mungkin ditambah dengan twist yang sok menipu ketimbang memperhatikan
sinergi antara premis dan presentasinya.
0 komentar:
Posting Komentar