Spring (2014)  

Spring (2014)

Anggap saja kamu tidak tahu siapa Justin Benson dan Aaron Moorhead, duo sutradara yang sebelumnya bertanggung jawab dalam segmen pendek Bonestrom di sekuel kedua omnibus horor, V/H/SV/H/S: Viral yang sayangnya mengecewakan itu, maka terang saja jika kamu kemudian tertipu dengan Spring.

      Ya, pemilihan judul dan posternya yang melow itu jelas jauh dari kesan angker, dan kamu mungkin akan mendapati bahwa film yang tayang perdana di ajang film Toronto 2014 lalu ini seperti sebuah drama indie. Ya, setidaknya itu yang terlihat di setengah jam pertamanya ketika Benson dan Moorhead memperkenalkan karakter utamanya, Evan yang dimainkan oleh Lou Taylor Pucci, seorang pemuda 20 tahunan asal California yang pasca kematian ibunya serta baru saja dipecat dari pekerjaanya sebagai tukang masak, kemudian memutuskan untuk pergi traveling ke Italia. Di sana, setelah memutuskan untuk menetap sementara dan bekerja buat petani tua, ia bertemu dengan Louise (Nadia Hilker), perempuan lokal cantik yang langsung membuatnya jatuh hati sejak pandangan pertama. Masalahnya, Evan tidak pernah tahu bahwa ada rahasia mengerikan yang tersimpan di balik paras ayu Louise.
      DIbutuhkan sedikit kesabaran untuk bisa jatuh cinta dengan Spring. Setengah jam pertamanya, dengan asumsi kamu benar-benar tidak tahu apa-apa sama sekali soal film ini seperti saya ketika pertama kali menontonnya, ia bergerak seperti sajian drama tanpa arah. Ada cerita dari laki-laki muda yang melarikan diri ke Eropa dari kehidupannya yang sumpek, di sini ia jatuh cinta dengan gadis lokal, selanjutnya apa yang akan terjadi bisa benar-benar mengejutkanmu, Tidak ada sama sekali tanda-tanda bahwa Spring akan berbelok arah drastis dari drama menjadi road movie, menjadi romansa lalu dengan cepat lagi melompat menjadi sci-fi horor. Ya, Sebenarnya berbekal premis ‘horor liburan’ macam ini Benson dan Moorhead bisa dengan mudah dan cepat langsung membuatnya menjadi sajian generik, beruntung mereka menjauhkan segalanya dari keklisean yang membosankan.
Sebagai sebuah film berlebel horor, Benson dan Moorhead dengan cerdas mengawinkannya dengan tema romansa yang tebal plus sedikit imbuhan sci-fi di belakangnya. Pendek kata saya menyebutnya sebuah tontonan horor-romantis, sebuah sub-genre langka, dan kalaupun ada, jarang bisa digarap dengan bagus seperti ini. Hmmm…..bagaimana saya menggambarkan Spring, begini, coba banyangkan Before Sunrise-nya RIchard Linklater dengan segala setting salah satu kota kecil Italia romantis yang menjadi saksi bisu dari kisah percintaan dua karakternya yang di dominasi dengan percakapan manis, yah, sampai di sini, aroma Spring mungkin akan terasa begitu sentimentil dengan aroma romansanya, tetapi coba tambahkan dengan elemen fiksi ilmiah dari The Man from Earth, lalu tambahkan lagi elemen dari horor klasik, Cat People, maka kamu akan menemukan sebuah cross-over genre horor yang menyegarkan.
      Mengutamakan kekuatan chemistry dari dua tokoh utamanya yang mendominasi nyaris seluruh durasinya, Spring mungkin tidak menghadirkan keintiman luar biasa seperti yang dilakukan Jesse dan Celine di trilogi Before, tetapi relasi manis-pahit yang berhasil dibentuk oleh Lou Taylor Pucci dan Nadia Hilker dari setiap perbicangan hangat mereka, anggur yang mereka minum dan canda tawa riang bekerja begitu baik dan terlihat tulus untuk ukuran sebuah film yang bukan sepenuhnya drama percintaan, tetapi lucunya, pada kenyataannya ia memang memasang cinta sejati menjadi bahan jualanya, bersanding mesra dengan irama lembut scoring-nya yang setia mengiringi setiap momen sentimentalnya. Sementara kandungan body horror-nya yang tiba-tiba datang memberi kejutan begitu besar, langsung menusuk tajam dengan kengerian serta sisi misterius tersendiri yang seakan membuat penontonnya menjerit-jerit meminta jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi, siapa sebenarnya Louisa yang pada akhirnya memang dijawab tuntas oleh Benson dan Moorhead dengan cerdas melalui teori-teori sci-fi ambisus yang mungkin meskipun terasa sedikit dipaksakan namun hasilnya tetap mampu menjadi sebuah konklusi emosional di penghujungnya.